Cerita sedih Soekarno tak punya uang untuk pernikahan putrinya
Soekarno hidup menderita di akhir hidupnya. Dia menjalani tahanan rumah dan selalu dijaga ketat oleh tentara. Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto memperlakukan proklamator RI ini sebagai pesakitan.
Soekarno tak punya uang simpanan di akhir hidupnya. Ketika salah seorang putrinya hendak menikah, Soekarno tak punya uang. Dengan malu dan terpaksa, dia meminta bantuan salah seorang istrinya, Yurike Sanger, untuk mencarikan utangan Rp 2 juta.
Dengan pengawalan ketat, Soekarno menemui Yurike. Wanita itu menangis melihat Soekarno. Tak ada lagi kegagahan yang dulu tampak. Sosok Soekarno kini tua dan renta karena tekanan batin.
"Mas tak ingin diberi stempel sebagai bapak yang gagal. Yang jadi persoalan utama, Mas tidak punya uang. Hidupku selama ini sama sekali untuk bangsa dan negara, sama sekali untuk kepentingan nasional," beber Soekarno dengan getir.
Untungnya beberapa hari kemudian Yurike bisa mendapatkan uang itu. Dia mendapat pinjaman lunak dari seorang pengusaha.
Hal itu diceritakan Yurike Sanger dalam memoarnya yang ditulis Kadjat Adra'i dan diterbitkan Komunitas Bambu.
Peristiwa lain terjadi tahun 1969, saat itu Rachmawati Soekarnoputri menikah dengan Martomo Pariatman Marzuki. Soekarno dengan penjagaan ketat tentara Orde Baru datang ke pernikahan itu. Suasana sungguh mengharukan. Fatmawati, istri Soekarno menyambut suami yang lama tidak ditemuinya. Fatmawati pun sedih melihat kondisi Soekarno yang kurus dan lemah.
Dengan kasar tentara itu mengusir Fatmawati agar tak mendekati Soekarno. Presiden pertama ini benar-benar diperlakukan seperti narapidana.
Saat Sukmawati menikah, peristiwa itu terulang lagi. Soekarno semakin lemah. Dia bahkan harus dipapah saat naik tangga. Soekarno menangis tersedu-sedu melihat putrinya menikah. Hadirin pun menangis melihat Soekarno sangat tak berdaya.
Tapi tidak demikian dengan para penjaga Soekarno. Tanpa belas kasihan mereka mendorongSoekarno masuk mobil saat jam kunjungan berakhir. Saat Soekarno hendak melambaikan tangan, para tentara itu menarik tangan Soekarno dengan kasar.
Tak ada bedanya dengan memperlakukan bandit jalanan. Inilah senjakala sang pemimpin besar revolusi. Dicampakkan bangsanya sendiri.
Kisah Pasukan Baret Merah RPKAD hadang konvoi Presiden Soekarno
12 Anggota Kopassus TNI AD menjalani persidangan perdana kasus penyerangan Lapas Cebongan hari ini. Para prajurit baret merah tersebut didakwa atas penyerangan yang menewaskan Hendrik Angel Sahetapi alias Deki (31), Yohanes Juan Mambait (38), Gameliel Yermianto Rohi Riwu alias Adi (29), dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi (33). Motif mereka menuntut balas kematian Serka Heru Santoso yang dihajar hingga tewas di Hugo's Cafe.
Ada cerita antara pasukan korps Baret Merah ini dengan Presiden Soekarno di senjakala kekuasaannya. Setelah mengeluarkan surat perintah 11 Maret 1966, kekuasaan Soekarno terus dipreteli. Soekarno memang masih presiden, tapi kekuasaan sudah dipegang Mayjen Soeharto .
Suasana Jakarta sangat menegangkan pada saat itu. Tentara berpatroli keliling kota dengan panser dan truk. Di setiap ruas jalan, satu regu tentara bersenjata dan kawat berduri merupakan pemandangan lazim.
Ceritanya, tanggal 18 Maret 1966, Soekarno akan berangkat ke Istana Bogor. Sesuai protap kepresidenan, Detasemen Kawal Pribadi (DKP) mengawal Soekarno . Mereka mengibarkan bendera kuning kepresidenan. Artinya jelas, ini rombongan resmi. Presiden bukan dalam keadaan incognito atau penyamaran.
Komandan DKP AKBP Mangil Martowidjojo menceritakan saat dramatis tersebut dalam buku Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang yang ditulis wartawan Senior Julius Pour, terbitan Kompas.
Baru berjalan puluhan meter, di depan sudah ada barikade. Mereka dicegat sepasukan RPKAD yang dipimpin seorang kapten di dekat Air Mancur, Jl Medan Merdeka Barat.
"Bapak berada di mobil nomor dua, paling depan jip DKP, nomor tiga mobil yang saya naiki dan ditutup oleh jip DKP. Begitu konvoi berhenti, sesuai prosedur, semua anak buah saya langsung berhenti melindungi mobil bapak sambil melepas kunci pengaman senjata," kata Mangil.
Saat itu DKP bersenjatakan senapan otomatis AR-15 yang lebih canggih dari AK-47 yang dibawa RPKAD. Mangil tak takut menembak jika keselamatan Soekarno terancam.
"Stop, ini rombongan siapa? teriak kapten RPKAD itu.
Mangil menjawab tegas. "Kalau Kapten melihat bendera di mobil kedua, sebagai perwira ABRI harusnya tahu. Ini konvoi resmi Presiden Republik Indonesia."
"Tetap harus diperiksa," balas kapten berbaret merah itu.
Mangil tak mau kalah. "Silakan. Tetapi, sebelum kapten bergerak maka kami harus tembak lebih dulu. Sebab tanggung jawab kami sebagai DKP jelas tidak pernah mengizinkan perjalanan Presiden RI terhalang," tegas Mangil.
Dua perwira tersebut adu urat. Anak buah mereka bersiaga dengan tegang. Menggengam senapan yang siap menyalak. RPKAD adalah pasukan elite terbaik. Mereka juga yang membebaskan RRI dari tangan PKI. RPKAD menduduki Halim dan mereka juga yang akhirnya menemukan sumur tua di Lubang Buaya berisi jenazah para jenderal. Ini pasukan pemukul andalan Soeharto saat itu.
Ada cerita antara pasukan korps Baret Merah ini dengan Presiden Soekarno di senjakala kekuasaannya. Setelah mengeluarkan surat perintah 11 Maret 1966, kekuasaan Soekarno terus dipreteli. Soekarno memang masih presiden, tapi kekuasaan sudah dipegang Mayjen Soeharto .
Suasana Jakarta sangat menegangkan pada saat itu. Tentara berpatroli keliling kota dengan panser dan truk. Di setiap ruas jalan, satu regu tentara bersenjata dan kawat berduri merupakan pemandangan lazim.
Ceritanya, tanggal 18 Maret 1966, Soekarno akan berangkat ke Istana Bogor. Sesuai protap kepresidenan, Detasemen Kawal Pribadi (DKP) mengawal Soekarno . Mereka mengibarkan bendera kuning kepresidenan. Artinya jelas, ini rombongan resmi. Presiden bukan dalam keadaan incognito atau penyamaran.
Komandan DKP AKBP Mangil Martowidjojo menceritakan saat dramatis tersebut dalam buku Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang yang ditulis wartawan Senior Julius Pour, terbitan Kompas.
Baru berjalan puluhan meter, di depan sudah ada barikade. Mereka dicegat sepasukan RPKAD yang dipimpin seorang kapten di dekat Air Mancur, Jl Medan Merdeka Barat.
"Bapak berada di mobil nomor dua, paling depan jip DKP, nomor tiga mobil yang saya naiki dan ditutup oleh jip DKP. Begitu konvoi berhenti, sesuai prosedur, semua anak buah saya langsung berhenti melindungi mobil bapak sambil melepas kunci pengaman senjata," kata Mangil.
Saat itu DKP bersenjatakan senapan otomatis AR-15 yang lebih canggih dari AK-47 yang dibawa RPKAD. Mangil tak takut menembak jika keselamatan Soekarno terancam.
"Stop, ini rombongan siapa? teriak kapten RPKAD itu.
Mangil menjawab tegas. "Kalau Kapten melihat bendera di mobil kedua, sebagai perwira ABRI harusnya tahu. Ini konvoi resmi Presiden Republik Indonesia."
"Tetap harus diperiksa," balas kapten berbaret merah itu.
Mangil tak mau kalah. "Silakan. Tetapi, sebelum kapten bergerak maka kami harus tembak lebih dulu. Sebab tanggung jawab kami sebagai DKP jelas tidak pernah mengizinkan perjalanan Presiden RI terhalang," tegas Mangil.
Dua perwira tersebut adu urat. Anak buah mereka bersiaga dengan tegang. Menggengam senapan yang siap menyalak. RPKAD adalah pasukan elite terbaik. Mereka juga yang membebaskan RRI dari tangan PKI. RPKAD menduduki Halim dan mereka juga yang akhirnya menemukan sumur tua di Lubang Buaya berisi jenazah para jenderal. Ini pasukan pemukul andalan Soeharto saat itu.
Tapi jangan remehkan DKP, mereka polisi pilihan. Sudah mengawal Soekarno sejak proklamasi dibacakan tanggal 17 Agustus 1945.
Kesetiaan DKP pada Soekarno sudah terbukti seratus satu persen. Keberanian mereka telah menyelamatkan Soekarno dari beberapa kali percobaan pembunuhan. Kali ini pun mereka siap bertempur habis-habisan.
Kesetiaan DKP pada Soekarno sudah terbukti seratus satu persen. Keberanian mereka telah menyelamatkan Soekarno dari beberapa kali percobaan pembunuhan. Kali ini pun mereka siap bertempur habis-habisan.
RPKAD dan DKP, para prajurit yang siap tempur untuk membela apa yang mereka yakini.
Untunglah akhirnya Kapten RPKAD tersebut mengalah. Dia membiarkan rombongan Soekarnomelintas tanpa perlu digeledah. Rombongan pun melaju mulus sampai Bogor.
Tapi Jenderal Soeharto tak membiarkan insiden itu berlalu begitu saja. Tanggal 23 Maret 1966,Soeharto membubarkan Tjakrabirawa. Pengawalan Istana diserahkan ke Polisi Militer Angkatan Darat. Tidak sampai di situ, tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto membubarkan DKP. Seluruh personel DKP dikembalikan ke Korps Brimob berdasarkan perintah Panglima Korps Brimob.Soeharto tahu loyalitas para pengawal Soekarno ini.
Soeharto akhirnya menahan Soekarno hingga proklamator ini meninggal dunia tanggal 21 Juni 1970.
Untunglah akhirnya Kapten RPKAD tersebut mengalah. Dia membiarkan rombongan Soekarnomelintas tanpa perlu digeledah. Rombongan pun melaju mulus sampai Bogor.
Tapi Jenderal Soeharto tak membiarkan insiden itu berlalu begitu saja. Tanggal 23 Maret 1966,Soeharto membubarkan Tjakrabirawa. Pengawalan Istana diserahkan ke Polisi Militer Angkatan Darat. Tidak sampai di situ, tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto membubarkan DKP. Seluruh personel DKP dikembalikan ke Korps Brimob berdasarkan perintah Panglima Korps Brimob.Soeharto tahu loyalitas para pengawal Soekarno ini.
Soeharto akhirnya menahan Soekarno hingga proklamator ini meninggal dunia tanggal 21 Juni 1970.
Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno meninggal dunia tanggal 21 Juni 1970. KekuasaanSoekarno secara perlahan dipreteli penguasa Orde Baru. Sejak 1 Oktober 1965, awan hitam mulai melingkupi senjakala di hari-hari terakhir Soekarno.
Jenderal Soeharto saat itu menguasai hampir seluruh kekuatan militer. Orang yang dianggap PKI atau Soekarnois dengan mudah ditangkap dan dibunuh. Banjir darah dimana-mana.
Di tengah kondisi yang semakin mencekam, sekitar tahun 1967 para loyalis Soekarno meminta agar sang presiden pergi ke luar negeri untuk sementara. Jika keadaan sudah aman, Soekarno bisa kembali ke Indonesia. Saat itu Soekarno banyak memiliki sahabat di luar negeri. Tentu dengan mudah mereka akan memberikan bantuan.
Apa jawaban Soekarno?
"Saya tidak mau. Masak saya harus meninggalkan rakyat dalam kondisi seperti itu," kata Soekarnotegas.
Kalau ke luar negeri tidak mau, mereka meminta Soekarno bersembunyi di Jawa Timur saja. Daerah itu dikenal sebagai tanah kelahiran sang proklamator. Loyalis Soekarno di sana militan. Sebagian besar kekuatan militer di sana juga mendukung Soekarno.
Lagi-lagi Soekarno tidak mau. Hal ini tentu membuat kesal para loyalisnya. Hal itu diceritakan dalam buku 'Hari-hari Terakhir Soekarno' yang ditulis Peter Kasenda dan diterbitkan Komunitas Bambu.
"Bung Karno ini kok apa-apa tidak mau. Maunya apa? Keadaan Bung Karno sudah seperti ini. Kita ingin Bung Karno selamat. Semestinya Bung Karno menurut" kata Nyonya Supeni yang mewakili para pendukungnya.
Soekarno yang semula diam, angkat bicara. Dia mengingatkan tahun 1957, kapal induk Amerika Serikat sudah berlayar ke perairan Indonesia. AS kala itu membantu pemberontakan PRRI/Permesta di Sulawesi dan Sumatera. AS menyumbang dana dan senjata untuk memecah Indonesia. Kini, jika dirinya pergi, pasti AS akan melakukan hal itu lagi.
"Kalau saya pergi ke luar negeri atau saya pergi ke Jawa Timur dan kemudian terjadi perang saudara melawan orang yang hendak menjatuhkan saya. Kamu tahu saya tidak bisa melihat pertumpahan darah di antara kita sendiri. Tidak," tegas Soekarno.
Soekarno bicara panjang lebar soal pencapaian Indonesia merebut Irian Barat dari Belanda. Sayang sekali negara persatuan yang sudah membentang dari Sabang sampai Merauke terpecah-pecah karena perang saudara.
"Ingatlah, biar saya tenggelam asal negara kesatuan Republik Indonesia tetap eksis," kata Soekarno.
Soekarno memilih takdirnya. Kelak dia akan dimasukkan tahanan rumah oleh pemerintahan Orde Baru hingga meninggal. Nasib Bapak Bangsa ini berakhir tragis. Tumbal untuk revolusi Indonesia.
Jenderal Soeharto saat itu menguasai hampir seluruh kekuatan militer. Orang yang dianggap PKI atau Soekarnois dengan mudah ditangkap dan dibunuh. Banjir darah dimana-mana.
Di tengah kondisi yang semakin mencekam, sekitar tahun 1967 para loyalis Soekarno meminta agar sang presiden pergi ke luar negeri untuk sementara. Jika keadaan sudah aman, Soekarno bisa kembali ke Indonesia. Saat itu Soekarno banyak memiliki sahabat di luar negeri. Tentu dengan mudah mereka akan memberikan bantuan.
Apa jawaban Soekarno?
"Saya tidak mau. Masak saya harus meninggalkan rakyat dalam kondisi seperti itu," kata Soekarnotegas.
Kalau ke luar negeri tidak mau, mereka meminta Soekarno bersembunyi di Jawa Timur saja. Daerah itu dikenal sebagai tanah kelahiran sang proklamator. Loyalis Soekarno di sana militan. Sebagian besar kekuatan militer di sana juga mendukung Soekarno.
Lagi-lagi Soekarno tidak mau. Hal ini tentu membuat kesal para loyalisnya. Hal itu diceritakan dalam buku 'Hari-hari Terakhir Soekarno' yang ditulis Peter Kasenda dan diterbitkan Komunitas Bambu.
"Bung Karno ini kok apa-apa tidak mau. Maunya apa? Keadaan Bung Karno sudah seperti ini. Kita ingin Bung Karno selamat. Semestinya Bung Karno menurut" kata Nyonya Supeni yang mewakili para pendukungnya.
Soekarno yang semula diam, angkat bicara. Dia mengingatkan tahun 1957, kapal induk Amerika Serikat sudah berlayar ke perairan Indonesia. AS kala itu membantu pemberontakan PRRI/Permesta di Sulawesi dan Sumatera. AS menyumbang dana dan senjata untuk memecah Indonesia. Kini, jika dirinya pergi, pasti AS akan melakukan hal itu lagi.
"Kalau saya pergi ke luar negeri atau saya pergi ke Jawa Timur dan kemudian terjadi perang saudara melawan orang yang hendak menjatuhkan saya. Kamu tahu saya tidak bisa melihat pertumpahan darah di antara kita sendiri. Tidak," tegas Soekarno.
Soekarno bicara panjang lebar soal pencapaian Indonesia merebut Irian Barat dari Belanda. Sayang sekali negara persatuan yang sudah membentang dari Sabang sampai Merauke terpecah-pecah karena perang saudara.
"Ingatlah, biar saya tenggelam asal negara kesatuan Republik Indonesia tetap eksis," kata Soekarno.
Soekarno memilih takdirnya. Kelak dia akan dimasukkan tahanan rumah oleh pemerintahan Orde Baru hingga meninggal. Nasib Bapak Bangsa ini berakhir tragis. Tumbal untuk revolusi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar